Perkembangan Moral
A.
Pengertian
Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan
kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral.
Nilai-nilai moral itu, seperti:
Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan
keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga
tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan
oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan
harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman
seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan
merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi
perilakunya.Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan
perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh
Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang
remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu
masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau
proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan
menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.Perkembangan moral (moral
development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai
apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain.
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya
terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya
berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya),
anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan
dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958,
sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model
of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku
Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat
dibagi sebagai berikut:
1.
Tingkat Pra
Konvensional. Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan
terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah.
Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau
kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan
ini dapat dibagi menjadi dua tahap.
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa
menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya
semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa
mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai
tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena
rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh
hukuman dan otoritas.
Tahap 2: Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk
memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.
Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli).
Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik)
dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis.
Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk
punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik
tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.
2.
Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau
bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa
mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas
terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia)
terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh
tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan
orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua
tahap
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta
yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap
gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku
sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama
kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata
tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan
kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang
ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri
3.
Tingkat
Pasca-Konvensional (Otonom/Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan
prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula
dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada
tingkat ini:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang
baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang
telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat.
Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi
sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional
dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah
penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan
untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial
(jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang
terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku
persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah
dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip
etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis,
universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis
(kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral
konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip
universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa
hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.
B.
Perkembangan Agama pada Remaja
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang
menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan
jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat
mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan,
sebagaimana dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan
sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah
lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan biasanya memberikan penjelasan
mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan
perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi
dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja
telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak
ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan
sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin
berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan
eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat
dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama
oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan
dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran
keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan
kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah
kegiatan seksual. Walaupun keanekaragaman dan perubahan dalam pengajaran
menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi
sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan
mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan
sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri
ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari
seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama
berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan
dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah
dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara
agama.
Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat
bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi
dalam tiga tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang
berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan
sebagai berikut:Sikap negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan)
disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama
secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras
dengan perbuatannya.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga
banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini
dilakukannya dengan kepatuhan.
Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:
Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi
dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran
dan manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami
bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi
seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
Menurut Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber
dari rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama
berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu
saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis,
melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan
keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka
sendiri.
C.
Hubungan antara Perkembangan Moral dan Agama
Agama mempunyai peranan penting dalam pengendalian moral seseorang. Tapi
harus diingat bahwa pengertian tentang agama, tidak otomatis sama dengan
bermoral. Betapa banyak orang yang mengerti agama, tapi moralnya merosot. Dan
tidak sedikit pula orang yang tidak mengerti agama sama sekali, tapi moralnya
cukup baik.
Oleh sebab itu, seorang peneliti ilmu jiwa agama harus mempelajari pula
dinamika dan perkembangan moral, supaya dapat memahami bagaimana peranan agama
dalam moral, dan agama itu dapat menjadi pengendali moral. Kita akan melihat
betapa erat hubungan agama dengan ibadah-ibadah dan moral. Untuk lebih jelas,
dapat kita lihat sangkut paut keyakinan beragama dengan moral remaja terutama
dalam masalah-masalah berikut :
Tuhan sebagai Penolong Moral
Tuhan bagi seorang remaja adalah keharusan moral, pada masa remaja itu,
Tuhan lebih menonjol sebagai penolong moral, daripada sandaran emosi. Andaikata
kadang-kadang pikiran pada masa remaja itu berontak dan ingin mengingkari wujud
Allah, atau ragu-ragu kepadanya, namun tetap ada suatu hal yang menghubungkan
dengan Allah yaitu kebutuhannya untuk mengendalikannya moral.
Pengertian Surga dan Neraka.
Kebanyakan remaja memikirkan alam lain, bukanlah untuk tempat senang-senang
atau tempat siksaan jasmani, akan tetapi sebagai lambang bagi pikiran
pembalasan atau lambing kebahagiaan yang ingin dicapainya dan terlepas dari
kegoncangan remaja yang tidak menyenangkan itu.
Pengertian tentang Malaikat dan Setan.
Mereka sadar betapa erat hubungan setan dengan malaikat itu dengan
dirinya,mereka menyadari adanya hubungan yang erat antara setan dengan dorongan
jahat yang ada dalam dirinya, dan hubungan dengan malaikat dengan moral dan
keindahannya yang ideal, demikian pula hubungan surga deengan ketentraman batin
dan kekuasaan yang baik, juga antara neraka dengan ketenangan batin dan
hukuman-hukuman atas dosa.
D.
Makna
Perkembangan Moral
Perkembangan
sosial merupakan proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota
masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak
masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan
social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam
keluarga, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan
merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur
fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku
sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku
moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang
diperlukan.
Seperti
dalam proses perkembangan yang lannya, proses perkembangan sosial dan moral
selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil
perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya
belajar sosial), baik dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan
masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan
siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral,
agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yang berlaku dalam
masyarakat.
Dalam
dunia psikologi belajar terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang
berhubungan dengan perkembangan moral. Diantara ragam mazhab perkembangan
sosial ini paling menonjol dan layak dijadikan rujukan adalah :
1. Aliran teori cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg.
2. Aliran teori Social Learning dengan tokoh utama Albert. Bandura dan R.H Walters.
1. Aliran teori cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg.
2. Aliran teori Social Learning dengan tokoh utama Albert. Bandura dan R.H Walters.
Pada
tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak melakukan penelitia yang mana pada
penelitiannya setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan
perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu teori perkembangan moral adalah teori
menurut Kohlberg.
E.
Teori
Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Menurut
teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama
pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg
mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan
Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan
wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi
serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral.
Berikut
ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita
ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk
menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang
menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral.
Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah?
Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang
diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain.
Dengan
adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat
perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkat
Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran
Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan
moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi
nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan
hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain
(eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku
yang buruk mendapatkan hukuman.
Tahap
I. Orientasi hukuman dan ketaatan
Yaitu
: tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas
hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap II.
Individualisme dan tujuan
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan
kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling
baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang
dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Tingkat Dua :
Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi
individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar
(Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain
(eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
Tahap III. Norma-norma Interpersonal
Yaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan
kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral.
Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.
Tingkat IV. Moralitas Sistem Sosial
Yaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman
atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat Tiga :
Penalaran Pascakonvensional
Yaitu : Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar
diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.
Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki
pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan
bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu : seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang
didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu
menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara
hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa
dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada
masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal
remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada
pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg
dalam psikologi umum.
F.
Teori Trikon Ki Hajar Dewantara
Stern dan para
pengikutnya meyakini bahwa kedua faktor, yakni pembawaan dan lingkungan, saling
memberikan pengaruh terhadap perkembngan manusia. Faktor pembawaan tidak
berarti apa-apa tanpa faktor lingkungan. Pendapat Stern ini berdasarkan
penyelidikannya sendiri terhadap anak-anak kembar di Hamburg.
Dilihat dari segi
faktor genetik anak kembar mempunyai sifat-sifat keturunan yang dapat dikatakan
sama. Anak tersebut dipisahkan dari pasangannya dan ditempatkan pada pengaruh
lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya. Pemisahan itu segera dilaksanakan
setelah kelahiran. Maka ternyata anak itu memiliki sifat-sifat berbeda satu
dengan yang lain, sekalipun secara keturunan mereka dapat dikatakan relatif
memiliki kesamaan. Perbedaan sifat tersebut disebabkan karena pengaruh
lingkungan di mana anak tersebut berada. Dengan keadaan ini dapat dikatakan
bahwa faktor pembawaan tidak menentukan secara mutlak, pembawaan bukan
satu-satunya faktor yang menentukan pribadi atau struktur kejiwaan seseorang
(Abu Ahmadi, 2003:197).
Dari berbagai macam
teori perkembangan seperti yang tersebut diatas, teori yang dikemukakan oleh W.
Stern-lah yang banyak diterima oleh para ahli pada umumnya sehingga teori
aliran konvergensi ini merupakan salah satu hukum perkembangan individu di
samping adanya hukum perkembangan yang lain. Meskipun demikian, sebagaimana
teori perkembangan lain, teori ini juga memiliki kelemahan yakni belum bisa
menentukan faktor mana yang memiliki peranan paling besar dalam perkembangan
anak. Selain ketiga teori diatas, tak salah kiranya jika penulis juga
menyebutkan Teori Trikon yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurut
beliau (dalam Hafi Anshari, 1993:46) ada tiga hal yang mesti ada agar suatu
proses pendidikan dalam membina perkembangan anak bisa berhasil, yakni:
- Konvergensi yang berarti akan berhasil baik bila ada perpaduan antara faktor ajar (faktor endogen/luar) dan faktor dasar (faktor eksogen/dalam). Konvergen artinya dalam upaya mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia kita harus memadukan dengan kebudayaan asing yang dipandang dapat memajukan bangsa Indonesia. Dalam memadukan itu (konvergensi) dilakukan dengan memilih dan memilah kebudayaan yang sesuai dengan kepribadian Pancasila (selektif) dan pemaduannya harus secara alami dan tidak dipaksakan (adaptatif).
- Kontinou yang berarti pendidikan adalah usaha melanjutkan kelangsungan hidup manusia. Kontinyu artinya dalam melestarikan kebudayaan asli Indonesia kita harus terus menerus dan berkesinambungan. Teori Kebudayaan itu dilakasanakan dengan memasukan mata pelajaran muatan lokal, melakukan upacara-upacara adat, mementaskan keseruan daerah dan lain-lain.
- Konsentris yang berarti pendidikan akan berhasil baik bila berpusat pada kepada kebudayaan bangsanya sendiri. Konsentris artinya dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia kita harus berusaha menyatukan kebudayaan nasional kita dengan kebudayaan dunia (global) dengan catatan harus tetap berpegang pada ciri khas kepribadian bangsa Indonesia (berdasarkan Pancasila).
Dengan mengetahui
teori-teori ini maka kita sebagai orang tua atau pendidik akan memahami dan
berhati-hati dalam memberikan pengaruh maupun memberi bahan pengaruh itu.
Trikon merupakan
kependekan dari istilah kontinyu,
konvergen dan konsentris. Teori trikon ditemukan oleh Ki Hadjar
Dewantara untuk melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia.
Teori Trikon ini dapat diterapkan dalam
segala unsur kebudayaan, baik yang berapa ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK), keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (IMTAQ), etika
susila, estetika dan seni, maupun daiam keterampilan hidup (life skill).Melalui
penggunaan teori trikon dimaksudkan agar dalam upaya mewujudkan masyarakat
tertib damai dan mewujudkan hidup yang salam bahagia bangsa Indonesia dapat
duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia,
serta dapat maju modern yang tetap di atas kepribadian Pancasila.
G. Strategi Trikon Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara mulai mempraktikan
teori ini sejak menuntut ilmu di Belanda. Ilmu pendidikan barat disaring; yang
bermanfaat dipakainya tetapi tetap berpijak pada akar budaya tanah air sehingga
konsep tentang Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada budaya
Nusantara.
Konsep isi pendidikan harus relevan
dengan garis hidup untuk mencerdaskan anak bangsa, mengangkat martabat bangsa
dalam rangka membangub kerjasama saling menguntungkan antar bangsa di dunia.
Untuk memperkuat dinamika pendidikan
sebagai penguatan kebangsaan, maka konsep pengembangan pendidikan harus senafas
dengan nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat serta melibatkan unsur
masyarakat dalam pengelolaannya karena keluaran/ output yang dihasilkannya
harus menjadi pioneer kebudayaan dan peradaban bangsa yang lebih
besar. Analisis Strategi Trikon:
Strategi
konvergensi misalnya, paling banyak dipengaruhi oleh pergolakan dunia yang
harus diantisipasi dengan baik supaya tidak menjadi ancaman terhadap
kelangsungan pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Hard Rock Casino & Hotel - Mapyro
BalasHapusA 울산광역 출장안마 map showing Hard Rock Casino & Hotel, Las Vegas, NV, 오산 출장마사지 United States. Hard 원주 출장마사지 Rock Hotel & Casino, Las Vegas, Nevada. Hard Rock Hotel & Casino, 경주 출장샵 Las Vegas, 영주 출장샵 Nevada.