Selasa, 17 Desember 2013

Sejarah Perkembangan Bahasa Melayu dari Tahun 1901- Sumpah Pemuda 1928 (A.Teeuw)



SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA MELAYU DARI TAHUN 1901- SUMPAH PEMUDA (1928)
A.    Sejarah Bahasa Melayu
Bahasa Melayu merupakan alat penghubung bagi seluruh Nusantara ; bertugas sebagai lingua franca (sebagai bahasa penghubung antara orang Indonesia yang menggunakan pelbagi bahasa melayu dengan bahasa asing.
Pengetahuan kita tentang perkembangan awal bahasa Melayu dapat dicatat bahwa inskripsi tertua yang masih terpelihara dalam Bahasa Indonesia di Nusantara ini ditulis dalam suatu bahasa yang dengan tepat sekali disebut Bahasa melayu kuno. Hasil-hasil tulisan pada inskripsi ini tertanggal sejak pertengahan abad yang ketujuh Masehi; dan telah ditemukan sekitar kota Palembang, yaitu ibukota Sumatera Selatan pada ketika ini, di bukit bukau daerah Minangkabau (Sumatera Tengah) dan pulai Bangka.
Bukti kedua tentang pentingnya bahasa Melayu sebagai bahasa perantara kebudayaan pada zalam Zaman Pertengahan diperoleh dari kesusastraan Tionghoa. Bahasa itu merupakan bahasa perdagangan antara orang-orang asing ( India, Tionghoa, Arab, Eropa) dengan orang Indonesia, dan juga antara orang-orang Indonesia yang berlainan bahasa; bahasa itu juga merupakan bahasa yang digunakan oleh kaum pengembang agama untuk mengembangkan agamanya, baik agama Islam maupun agama Kristen.
Dari Aceh di bagian Sumatera yang paling utara hingga Ambon di Kepulauan Maluku, bahasa Melayu merupakan bahasa kaum terpelajar, bahasa sekolah yang pada permulaannya hanya sekolah-sekolah agama belaka.
Setelah pemerintah kolonial Belanda menegakkan serta memperkukuh kekuasaannya dan memperhebat pentadbirannya pada bagian terakhir abad kesembilan belas dan keduapuluh, perkembangan bahasa Melayu kian bertambah pesat. Seperti yng ditulis oleh Hooykaas pada tahun 1939.
Beberapa faktor penting bagi perkembangan bahasa Melayu modern menurut Hooykaas di antaranya, faktor-faktor lama seperti perdagangan, agama, dan pendidikan, yang bagaimanapun juga semakin lama semakin penting, dan juga beberapa faktor baru, yaitu pentadbiran yang diperhebat dan melibatkan orang Indoensia yang kian besar jumlahnya, alat perhubungan seperti surat kabar dan radio, dan tidak kurang pula pentingnya perkembangan-perkembangan politik.
B.     Nasionalisme Indonesia dan Bahasa Indoenesia
Bahasa Melayu mulai memainkan peranan yang penting sebagai bahasa penghubung bagi pergerakkan nasionalis. Bahasa itu telah diperlengkap untuk peranan itu terutama oleh surat kabar- surat kabar Melayu yang mulai berkembang sejat tahun 1900. Pada mulanya beberapa surat kabar ini terdiri dari surat kabar Tionghoa yang tiada seberapa nilainya dipandang dari sudut jurnalistik.
Tiada lama kemudian bahasa Melayu telah memperoleh semacam pengakuan resmi. Secepatnya Dewan Rakyat dibentuk pada 18 Mei 1918, perkara yang pertama sekali dibahas ialah persoalan bahasa. Perbincangan yang timbul dari suatu surat permohonan yang diajukan kepada Dewan itu oleh beberapa organisasi Indonesia, akhirnya melahirkan suatu usul yang dikemukakan kepada pemerintah, yang meminta supaya suatu perubahan dilukakn atas peraturan-peraturan dewan itu. Permintaan itu diperkenankan oleh pemerintah Belanda dengan suatu Dekrit Raja pada 25 Juni tahun itu juga, yang mengizinkan para anggota dewan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa perbincangan di samping bahasa Belanda yang pada umumnya merupakan satu-satunya bahasa yang diizinkan.haruslah diketahui bahwa permintaan ini tidak memiliki tujuan politik musyawarah yang jelas, walaupun seseorang yang membaca laporan akan merasa bahwa ada juga tersirat dalam pertimbangan-pertimbangan praktis yang tersurat. Cita-cita kebangsaan betapapun samar-samar sifatnya, telah mulai kelihatan. Namun demikian, untuk menjauhkan salah paham, haruslah dijelaskan pula bahwa hak menggunakan bahasa Melayu sebagai ganti bahasa Belanda itu sedikit saja digunakan, sekalipun oleh para anggota Dewan Rakyat bangsa Indonesia itu sendiri.
Dua puluh tahun kemudian barulah golongan Indonesia dalam dewan yang diketuai oleh H. Thamrin itu mengumumkan keputusan yang telah mereka sebut Bahasa Indonesia. Keputusan ini yang dalam praktiknya tidak senantiasa dipatuhi dengan sepenuhnya oleh para anggota Indonesia yang berkenaan, didorong oleh Kongres Bahasa yang dilangsungkan pada bulan Juni 1938, dan juga oleh beberapa perkembangan politik tertentu pada waktu itu.
Bagaimanapun juga cita-cita tentang suatu bahasa nasional hanya berkembang secara perlahan-lahan pada tahun duapuluhan dan ketika itu pada mulanya tidaklah begitu jelas bahwa kesusastraan Indonesia baru akan ditulis dalam bahasa Melayu.
Para pemuda Sumatera, sebagain besar pelajar sekolah guru dan sekolah lain yang berbahasa pengantar Belanda, umumnya pula menggunakan bahasa belanda dalm tulisan mereka, umpamanya dalam majalah mereka Jong Sumatera (Sumatera Muda). Namun demikian, dalam majalah ini dapat ditemukan percobaan yang pertama untuk menghasilkan kesusastraan Melayu modern berbagai karangan yang dihasilkan dengan tujuan menimbulkan minat orang muda terhadap hasil kesusastraan Melayu lam. Pada ketika itui bahasa Melayulah yang menjadi rangka pemikiran mereka, bukan bahasa Indonesia, sebagaimana terbukti dari program kongres pemud Sumatera yang kedua, umpamanya: ‘Hari pertama seluruhnya akan diisi dengan perbincangan tentang fenomena masyarakat di Sumatera (ilmu bumi, etnologi, sejarah, adat, keadaan sosial, dll.). Bahasa Melayu dan bahasa Belanda kedua-duanya diizinkan. Hari yang kedua akan digunakan untuk perbincangan mengenai bahasa dan kesusastraan Melayu, hanya Bahasa Melayu Tinggi (Riau) dapat digunakan.
C.    Permulaan Puisi oleh Muhammad Yamin
Orang yang pertama sekali patut dibicarakan di sini ialah Muhammad Yamin. Sebagai seorang pelajar yang berumur 17 atau 18 tahun pemuda Minangkabau ini pada tahun 1920-22 dalam Jong Sumatera menerbitkan sejumlah sajak Melayu yang pada pendapat saya harus dianggap sebagai pengucapan yang pertama dalam sebuah kesusastraan Indonesia modern.
BAHASA, BANGSA
Selagi kecil berusia muda,
Tidur si anak di pangkuan bunda
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang;
Berbuai sayang malam dan siang
Buaian tergantung di tanah moyang.
Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah melayu
Berduka suka, sertakan rayu;
Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya, permai merdu.
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Bernafas kita pemanjangkan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Di mana Sumatra, di situ bangsa,
Di mana Perca, di sana bahasa.
Andalasku sayang, jana bejana
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa, tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatera malang
Tiada bahasa, bangsa pun hilang.

Sajak ini menarik perhatian karena bentuknya yang tidak terikat oleh kebiasan dan isinya yang orisnil, dan dianggap sebagai suatu pendahuluan yang patut dari perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh bahasa serta kebudayaannya sendiri. Maka tidak dapat disangkal bahwa dalam lapangan kesusastran, Yaminlah yang pertama kali memberikan bentuk pada cita-cita itu dan setia selama-lamanya. Dalam diri Yamin terlihat hubungan erat antara cita-cita politik, kebudayaan dan bahasa. Tahun 1922 merupakan tahun penting karena muncul kumpulan sajak dan roman yang pertama karangan Yamin berjudul Tanah Air, tetapi yang dimaksud tanah air ialah pulau Sumatera. Jelaslah konsep Indoesia tidak mengilhami jiwa puitis karangan saat itu. Hal yang menarik minat pembaca adalah pemisahan yang jelas dari zaman silam. Bentuk puisi melayu tradisional (pantun dan syair) telah ditinggalkan, yang dipertahankan hanya baris sajak yang terdiri dari empat perkataan. Bentuk puisi yang terpenting saat itu ialah soneta, hanya satu dari karya Yamin yang tidak berbentuk soneta.


D.    Roman-roman politik yang mula-mula
Roman Sitti Nurbaya yang ditulis oleh Marah Rusli diterbitkan oleh Balai Pustaka. Pada asalnya balai Pustaka itu sebuah Biro Sastra Rakyat yang telah dibentuk pemerintah beberapa tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1908, walaupun dalam bentuk yang agak berbeda. Balai pustaka baru mulai mengembangkan sayapnya pada tahun 1920. Tujuan utama asalnya ialah mengumpulkan dan menerbitkan hasil sastra tradisional rakyat yang melimah-limpah terdapat di Indonesia, tetapi hingga waktu itu tidak mudah diperoleh. Rangka dasar untuk memenuhi keperluan bahan bacaan yang baik tetapi murah bagi rakyat Indonesia yang kian lama kian bertambah jumlahnya yang pandai membaca, maka biro itu mulai mendorong penciptaan karya-karya asli modern oleh para pengarang Indonesia. Selain menyediakan terjemahan dari perbagai macam hasil kesusastraan Barat yang dianggap sebagai bahan bacaan baik lagi bermanfaat menurut ukuran para pegawai yang menyelenggarakan biro itu.
Biro ini sering mengambil sikap yang amat netral dalam persoalan agama ( dan ini berarti bahwa buku-buku yang mengandung unsur keagamaan tidak akan diterima untuk diterbitkan); pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah juga tidak diterima; dan demikian pula hasil-hasil sastra yang bersifat ‘cabul’ tidak akan memperoleh kesudian dari biro ini. Biarpun terdapat halangan ini namun peranan pendorong positif yang lain dimainkan oleh Balai Pustaka dalam perkembangan kesusastraan Indonesia modern tidak boleh pandang kecil. Berbagai keluhan tentang penyaringan serta rintangan yang dilakukannya harus pula dikemukakan sebagian besar roman-roman yang menarik perhatian, yang bukan saja diterbitkan oleh Balai Pustaka, tetapi juga memperoleh penyebaran yang luas di seluruh negri, berkat fasilitas yang dimiliki oleh biro ini sebagai dinas pemerintah.
E.     Puisi hingga tahun 1928 oleh Rustam Effendi
Hasil-hasil puisi yang ditemukan penulis karangan Mas Marco di antaranya Syair-syair Rempah (1918), dua jilid kecil yang terdiri dari 40 halaman.puisi-puisi asalnya diterbitkan dalam Sinar Hindia. Mas Marco menjadi anggota redaksi surat kabar ini. Beberapa dari puisi ini ditulis di penjara, sebagaiman yang diperlihatkan oleh bait pertama dari sajaknya yang pertama
Sair inilah dari penjara
Waktu kami baru dihukumnya
Di Weltevreden tempat tinggalnya,
Dua belas bulan punya lama

Syair ini juga merupakan suatru campuran  yang aneh dari nasionalisme, romatisme dan moralisme yang menarik dari sudut ilmu kemasyarakatan, tetapi tidak bernilai sastra. Bahasa dan gaya puisi in i terlalu serupa dengan bahasa dan tukang syair Betawi yang profesional, yang menerbitkan hasil mereka dalam satu bentuk naskah di perpustakaan mereka sendiri yang dapat disewa 1 sen sehari, meskipun banyak juga di antaranya bisa disebut Toko Albrecht.
Syair-syair Mas marco tidak dianggap sebagai pembaharuan penting menurut ukuran puisi, walaupuin ada semangatnya syair-syair itu agak berbeda dari kebanyakkan syair yang dicipta di Jawa. Dalam hubungan ini soneta dan puisi lain oleh Yamin, S. Pane lebih jelas menandakan suatu zaman baru.
F.     Proklamasi Bahasa Indonesia, 1928
Kumpulan puisi Muhammad Yamin kedua, yang ditulis untuk menyambut Kongres Pemudan Seluruh Indonesia pada tahun 1928, lebih langsung hubungannya dengan nasionalisme Indonesia. Buku kecil itu dicetak pada tahun 1929 dan diberi judul Indonesia Tumpah Darahku. Sebagian hasil puisi karya itu tidak memperlihatkan kemajuan besar jika dibandingkan dengan Tanah Air yang terbit enam tahun terdahulu. Bahasanya sebagian besar masih konvensional dan masih mengandung segala unsur kelemahan yang telah kita dapati dalam karyanya yang permulaan. Puisi ini berisi tentang telah mulai berlaku perubahan dari pandangan kedaerahan dengan perhatian kepada soal kebudayaan, kepada sikap nasioanal dengan perhatian ditumnpukan kepada soal politik, terutama cita-cita politik tentang kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1926 dilaksanakan Kongres Pemuda Indonesia yang pertama dilangsungkan di Jakarta dengan tujuan menyatupadukan berbagai organisasi pemuda yang ketika itu masih memiliki perbedaan dari segi agam dan bahasa daerah.
Bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia, dan bahwa kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang akan terjelma dalam bahasa itu. Pada tahun itu juga, yaitu tahun 1926, Jong Java, organisasi pemuda yang waktu itu jauh lebih besar dari organisasi pemuda lainnya, menerima bahasa Melayu sebagai bahasa penghubung dalam musyawarah-musyawarahnya, meskipun bahasa itu masih disebut bahasa Melayu dan meskipun kelebihan bahasa itu yang terpenting tampaknya ialah bahwa bahasa itu merupakan bahasa gampang, yaitu bahasa yang mudah. Namun demikian, setahun kemudian, yaitu ketika merayakan ulang tahunnya yang kedua belas setengah, organisasi ini juga turut berbicara tentang perstuan Indonesia, dan tentang bahasa kebangsaan, yaitu Bahasa Indonesia.
Menjelang tahun 1928 cita-cita persatuan, bersama dengan cita-cita tentnag satu bahasa kebangsaan, telah menjadi hal yang pasti. Pada tahun itu oirganisasi-organisasi pemuda daerah memutuskan untuk bergabung dalam satu persatuan umum seluruh Indonesia, yaitu Indonesia Muda.
Pada tanggal 28 Oktober tahun itu juga, pada Kongres Pemuda Seluruh Indonesia di Jakarta, suatu resolusi bersejarah yang selanjutnya disebut Sumpah Pemuda telah diambil dengan suara pasti, memproklamasikan tiga cita-cita: satu negara, satu bangsa, dan satu bahasa.
Sejak waktu itu, peristiwa tersebut dianggap oleh rakyat Indonesia sebagai titik permulaan sebenarnya bagi Bahasa Indonesia, sebagai alat serta lambang kemerdekaan nasioanl dan bukan tak beralasan. Memang mungkin benar ketika itu orang dapat melihat beberapa faktor dan keadaan yang menimbulkan rasa sangsi apakah bahasa Melayu sesungguhnya akan dapat memnuhi peranan yang telah dicptakan untuknya oleh para pemuda Indonesia, mungkin juga benar bahwa berbagai ahli dengan alsan yang rupa-rupanya sehat berpendapat bahwa bahasa Melayu tidak sesuai untuk dijadikan bahasa peradaban modern, tambahan pula memang benar bahwa pada praktiknya ramai orang Indonesia yang seringkali gagal menyesuaikan diri dengan cita-cita mereka setelah tahun 1928. Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa cita-cita itu telah menjadi kenyataan, bahwa Bahasa Indonesia bukan saja menjadi lat persatuan politik Indonesia, tetapi juga menjadi bahasa kesusastraan Indonesia modern.


DAFTAR PUSTAKA
Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Jilid I. Ende-Flores: Nusa Indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar