SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA MELAYU
DARI TAHUN 1901- SUMPAH PEMUDA (1928)
A. Sejarah Bahasa Melayu
Bahasa
Melayu merupakan alat penghubung bagi seluruh Nusantara ; bertugas sebagai
lingua franca (sebagai bahasa penghubung antara orang Indonesia yang
menggunakan pelbagi bahasa melayu dengan bahasa asing.
Pengetahuan
kita tentang perkembangan awal bahasa Melayu dapat dicatat bahwa inskripsi
tertua yang masih terpelihara dalam Bahasa Indonesia di Nusantara ini ditulis
dalam suatu bahasa yang dengan tepat sekali disebut Bahasa melayu kuno.
Hasil-hasil tulisan pada inskripsi ini tertanggal sejak pertengahan abad yang
ketujuh Masehi; dan telah ditemukan sekitar kota Palembang, yaitu ibukota
Sumatera Selatan pada ketika ini, di bukit bukau daerah Minangkabau (Sumatera
Tengah) dan pulai Bangka.
Bukti
kedua tentang pentingnya bahasa Melayu sebagai bahasa perantara kebudayaan pada
zalam Zaman Pertengahan diperoleh dari kesusastraan Tionghoa. Bahasa itu
merupakan bahasa perdagangan antara orang-orang asing ( India, Tionghoa, Arab,
Eropa) dengan orang Indonesia, dan juga antara orang-orang Indonesia yang
berlainan bahasa; bahasa itu juga merupakan bahasa yang digunakan oleh kaum
pengembang agama untuk mengembangkan agamanya, baik agama Islam maupun agama
Kristen.
Dari
Aceh di bagian Sumatera yang paling utara hingga Ambon di Kepulauan Maluku,
bahasa Melayu merupakan bahasa kaum terpelajar, bahasa sekolah yang pada
permulaannya hanya sekolah-sekolah agama belaka.
Setelah
pemerintah kolonial Belanda menegakkan serta memperkukuh kekuasaannya dan
memperhebat pentadbirannya pada bagian terakhir abad kesembilan belas dan keduapuluh,
perkembangan bahasa Melayu kian bertambah pesat. Seperti yng ditulis oleh
Hooykaas pada tahun 1939.
Beberapa
faktor penting bagi perkembangan bahasa Melayu modern menurut Hooykaas di
antaranya, faktor-faktor lama seperti perdagangan, agama, dan pendidikan, yang
bagaimanapun juga semakin lama semakin penting, dan juga beberapa faktor baru,
yaitu pentadbiran yang diperhebat dan melibatkan orang Indoensia yang kian
besar jumlahnya, alat perhubungan seperti surat kabar dan radio, dan tidak
kurang pula pentingnya perkembangan-perkembangan politik.
B.
Nasionalisme
Indonesia dan Bahasa Indoenesia
Bahasa
Melayu mulai memainkan peranan yang penting sebagai bahasa penghubung bagi
pergerakkan nasionalis. Bahasa itu telah diperlengkap untuk peranan itu
terutama oleh surat kabar- surat kabar Melayu yang mulai berkembang sejat tahun
1900. Pada mulanya beberapa surat kabar ini terdiri dari surat kabar Tionghoa
yang tiada seberapa nilainya dipandang dari sudut jurnalistik.
Tiada
lama kemudian bahasa Melayu telah memperoleh semacam pengakuan resmi.
Secepatnya Dewan Rakyat dibentuk pada 18 Mei 1918, perkara yang pertama sekali
dibahas ialah persoalan bahasa. Perbincangan yang timbul dari suatu surat
permohonan yang diajukan kepada Dewan itu oleh beberapa organisasi Indonesia,
akhirnya melahirkan suatu usul yang dikemukakan kepada pemerintah, yang meminta
supaya suatu perubahan dilukakn atas peraturan-peraturan dewan itu. Permintaan
itu diperkenankan oleh pemerintah Belanda dengan suatu Dekrit Raja pada 25 Juni
tahun itu juga, yang mengizinkan para anggota dewan menggunakan bahasa Melayu
sebagai bahasa perbincangan di samping bahasa Belanda yang pada umumnya
merupakan satu-satunya bahasa yang diizinkan.haruslah diketahui bahwa
permintaan ini tidak memiliki tujuan politik musyawarah yang jelas, walaupun
seseorang yang membaca laporan akan merasa bahwa ada juga tersirat dalam
pertimbangan-pertimbangan praktis yang tersurat. Cita-cita kebangsaan betapapun
samar-samar sifatnya, telah mulai kelihatan. Namun demikian, untuk menjauhkan
salah paham, haruslah dijelaskan pula bahwa hak menggunakan bahasa Melayu
sebagai ganti bahasa Belanda itu sedikit saja digunakan, sekalipun oleh para
anggota Dewan Rakyat bangsa Indonesia itu sendiri.
Dua
puluh tahun kemudian barulah golongan Indonesia dalam dewan yang diketuai oleh
H. Thamrin itu mengumumkan keputusan yang telah mereka sebut Bahasa Indonesia.
Keputusan ini yang dalam praktiknya tidak senantiasa dipatuhi dengan sepenuhnya
oleh para anggota Indonesia yang berkenaan, didorong oleh Kongres Bahasa yang
dilangsungkan pada bulan Juni 1938, dan juga oleh beberapa perkembangan politik
tertentu pada waktu itu.
Bagaimanapun
juga cita-cita tentang suatu bahasa nasional hanya berkembang secara
perlahan-lahan pada tahun duapuluhan dan ketika itu pada mulanya tidaklah
begitu jelas bahwa kesusastraan Indonesia baru akan ditulis dalam bahasa
Melayu.
Para
pemuda Sumatera, sebagain besar pelajar sekolah guru dan sekolah lain yang
berbahasa pengantar Belanda, umumnya pula menggunakan bahasa belanda dalm tulisan
mereka, umpamanya dalam majalah mereka Jong
Sumatera (Sumatera Muda). Namun demikian, dalam majalah ini dapat ditemukan
percobaan yang pertama untuk menghasilkan kesusastraan Melayu modern berbagai
karangan yang dihasilkan dengan tujuan menimbulkan minat orang muda terhadap
hasil kesusastraan Melayu lam. Pada ketika itui bahasa Melayulah yang menjadi
rangka pemikiran mereka, bukan bahasa Indonesia, sebagaimana terbukti dari
program kongres pemud Sumatera yang kedua, umpamanya: ‘Hari pertama seluruhnya
akan diisi dengan perbincangan tentang fenomena masyarakat di Sumatera (ilmu
bumi, etnologi, sejarah, adat, keadaan sosial, dll.). Bahasa Melayu dan bahasa
Belanda kedua-duanya diizinkan. Hari yang kedua akan digunakan untuk
perbincangan mengenai bahasa dan kesusastraan Melayu, hanya Bahasa Melayu
Tinggi (Riau) dapat digunakan.
C.
Permulaan
Puisi oleh Muhammad Yamin
Orang
yang pertama sekali patut dibicarakan di sini ialah Muhammad Yamin. Sebagai
seorang pelajar yang berumur 17 atau 18 tahun pemuda Minangkabau ini pada tahun
1920-22 dalam Jong Sumatera menerbitkan sejumlah sajak Melayu yang pada
pendapat saya harus dianggap sebagai pengucapan yang pertama dalam sebuah
kesusastraan Indonesia modern.
BAHASA, BANGSA
Selagi
kecil berusia muda,
Tidur si
anak di pangkuan bunda
Ibu
bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si
anak banyaknya sedang;
Berbuai
sayang malam dan siang
Buaian
tergantung di tanah moyang.
Terlahir di
bangsa, berbahasa sendiri
Diapit
keluarga kanan dan kiri
Besar
budiman di tanah melayu
Berduka suka,
sertakan rayu;
Perasaan
serikat menjadi padu
Dalam
bahasanya, permai merdu.
Meratap
menangis bersuka raya
Dalam
bahagia bala dan baya;
Bernafas
kita pemanjangkan nyawa
Dalam
bahasa sambungan jiwa
Di mana
Sumatra, di situ bangsa,
Di mana
Perca, di sana bahasa.
Andalasku
sayang, jana bejana
Sejakkan
kecil muda teruna
Sampai mati
berkalang tanah
Lupa ke
bahasa, tiadakan pernah
Ingat
pemuda, Sumatera malang
Tiada
bahasa, bangsa pun hilang.
Sajak ini
menarik perhatian karena bentuknya yang tidak terikat oleh kebiasan dan isinya
yang orisnil, dan dianggap sebagai suatu pendahuluan yang patut dari perjuangan
rakyat Indonesia untuk memperoleh bahasa serta kebudayaannya sendiri. Maka
tidak dapat disangkal bahwa dalam lapangan kesusastran, Yaminlah yang pertama
kali memberikan bentuk pada cita-cita itu dan setia selama-lamanya. Dalam diri
Yamin terlihat hubungan erat antara cita-cita politik, kebudayaan dan bahasa.
Tahun 1922 merupakan tahun penting karena muncul kumpulan sajak dan roman yang
pertama karangan Yamin berjudul Tanah Air, tetapi yang dimaksud tanah air ialah
pulau Sumatera. Jelaslah konsep Indoesia tidak mengilhami jiwa puitis karangan
saat itu. Hal yang menarik minat pembaca adalah pemisahan yang jelas dari zaman
silam. Bentuk puisi melayu tradisional (pantun dan syair) telah ditinggalkan,
yang dipertahankan hanya baris sajak yang terdiri dari empat perkataan. Bentuk
puisi yang terpenting saat itu ialah soneta, hanya satu dari karya Yamin yang
tidak berbentuk soneta.
D.
Roman-roman
politik yang mula-mula
Roman Sitti
Nurbaya yang ditulis oleh Marah Rusli diterbitkan oleh Balai Pustaka. Pada
asalnya balai Pustaka itu sebuah Biro Sastra Rakyat yang telah dibentuk
pemerintah beberapa tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1908, walaupun dalam
bentuk yang agak berbeda. Balai pustaka baru mulai mengembangkan sayapnya pada
tahun 1920. Tujuan utama asalnya ialah mengumpulkan dan menerbitkan hasil
sastra tradisional rakyat yang melimah-limpah terdapat di Indonesia, tetapi
hingga waktu itu tidak mudah diperoleh. Rangka dasar untuk memenuhi keperluan
bahan bacaan yang baik tetapi murah bagi rakyat Indonesia yang kian lama kian
bertambah jumlahnya yang pandai membaca, maka biro itu mulai mendorong
penciptaan karya-karya asli modern oleh para pengarang Indonesia. Selain
menyediakan terjemahan dari perbagai macam hasil kesusastraan Barat yang
dianggap sebagai bahan bacaan baik lagi bermanfaat menurut ukuran para pegawai
yang menyelenggarakan biro itu.
Biro ini
sering mengambil sikap yang amat netral dalam persoalan agama ( dan ini berarti
bahwa buku-buku yang mengandung unsur keagamaan tidak akan diterima untuk
diterbitkan); pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah juga tidak
diterima; dan demikian pula hasil-hasil sastra yang bersifat ‘cabul’ tidak akan
memperoleh kesudian dari biro ini. Biarpun terdapat halangan ini namun peranan
pendorong positif yang lain dimainkan oleh Balai Pustaka dalam perkembangan
kesusastraan Indonesia modern tidak boleh pandang kecil. Berbagai keluhan
tentang penyaringan serta rintangan yang dilakukannya harus pula dikemukakan
sebagian besar roman-roman yang menarik perhatian, yang bukan saja diterbitkan
oleh Balai Pustaka, tetapi juga memperoleh penyebaran yang luas di seluruh
negri, berkat fasilitas yang dimiliki oleh biro ini sebagai dinas pemerintah.
E.
Puisi hingga
tahun 1928 oleh Rustam Effendi
Hasil-hasil
puisi yang ditemukan penulis karangan Mas Marco di antaranya Syair-syair Rempah
(1918), dua jilid kecil yang terdiri dari 40 halaman.puisi-puisi asalnya
diterbitkan dalam Sinar Hindia. Mas Marco menjadi anggota redaksi surat kabar
ini. Beberapa dari puisi ini ditulis di penjara, sebagaiman yang diperlihatkan
oleh bait pertama dari sajaknya yang pertama
Sair inilah dari penjara
Waktu kami baru dihukumnya
Di Weltevreden tempat tinggalnya,
Dua belas bulan punya lama
Syair ini juga
merupakan suatru campuran yang aneh dari
nasionalisme, romatisme dan moralisme yang menarik dari sudut ilmu
kemasyarakatan, tetapi tidak bernilai sastra. Bahasa dan gaya puisi in i
terlalu serupa dengan bahasa dan tukang syair Betawi yang profesional, yang
menerbitkan hasil mereka dalam satu bentuk naskah di perpustakaan mereka
sendiri yang dapat disewa 1 sen sehari, meskipun banyak juga di antaranya bisa
disebut Toko Albrecht.
Syair-syair
Mas marco tidak dianggap sebagai pembaharuan penting menurut ukuran puisi,
walaupuin ada semangatnya syair-syair itu agak berbeda dari kebanyakkan syair
yang dicipta di Jawa. Dalam hubungan ini soneta dan puisi lain oleh Yamin, S.
Pane lebih jelas menandakan suatu zaman baru.
F.
Proklamasi
Bahasa Indonesia, 1928
Kumpulan
puisi Muhammad Yamin kedua, yang ditulis untuk menyambut Kongres Pemudan
Seluruh Indonesia pada tahun 1928, lebih langsung hubungannya dengan
nasionalisme Indonesia. Buku kecil itu dicetak pada tahun 1929 dan diberi judul
Indonesia Tumpah Darahku. Sebagian
hasil puisi karya itu tidak memperlihatkan kemajuan besar jika dibandingkan
dengan Tanah Air yang terbit enam tahun terdahulu. Bahasanya sebagian besar
masih konvensional dan masih mengandung segala unsur kelemahan yang telah kita
dapati dalam karyanya yang permulaan. Puisi ini berisi tentang telah mulai
berlaku perubahan dari pandangan kedaerahan dengan perhatian kepada soal
kebudayaan, kepada sikap nasioanal dengan perhatian ditumnpukan kepada soal politik,
terutama cita-cita politik tentang kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1926
dilaksanakan Kongres Pemuda Indonesia yang pertama dilangsungkan di Jakarta
dengan tujuan menyatupadukan berbagai organisasi pemuda yang ketika itu masih
memiliki perbedaan dari segi agam dan bahasa daerah.
Bahasa
Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa
persatuan bagi bangsa Indonesia, dan bahwa kebudayaan Indonesia di masa yang
akan datang akan terjelma dalam bahasa itu. Pada tahun itu juga, yaitu tahun
1926, Jong Java, organisasi pemuda yang waktu itu jauh lebih besar dari
organisasi pemuda lainnya, menerima bahasa Melayu sebagai bahasa penghubung
dalam musyawarah-musyawarahnya, meskipun bahasa itu masih disebut bahasa Melayu
dan meskipun kelebihan bahasa itu yang terpenting tampaknya ialah bahwa bahasa
itu merupakan bahasa gampang, yaitu bahasa yang mudah. Namun demikian, setahun
kemudian, yaitu ketika merayakan ulang tahunnya yang kedua belas setengah,
organisasi ini juga turut berbicara tentang perstuan Indonesia, dan tentang
bahasa kebangsaan, yaitu Bahasa Indonesia.
Menjelang
tahun 1928 cita-cita persatuan, bersama dengan cita-cita tentnag satu bahasa
kebangsaan, telah menjadi hal yang pasti. Pada tahun itu oirganisasi-organisasi
pemuda daerah memutuskan untuk bergabung dalam satu persatuan umum seluruh
Indonesia, yaitu Indonesia Muda.
Pada
tanggal 28 Oktober tahun itu juga, pada Kongres Pemuda Seluruh Indonesia di
Jakarta, suatu resolusi bersejarah yang selanjutnya disebut Sumpah Pemuda telah
diambil dengan suara pasti, memproklamasikan tiga cita-cita: satu negara, satu
bangsa, dan satu bahasa.
Sejak
waktu itu, peristiwa tersebut dianggap oleh rakyat Indonesia sebagai titik
permulaan sebenarnya bagi Bahasa Indonesia, sebagai alat serta lambang
kemerdekaan nasioanl dan bukan tak beralasan. Memang mungkin benar ketika itu
orang dapat melihat beberapa faktor dan keadaan yang menimbulkan rasa sangsi
apakah bahasa Melayu sesungguhnya akan dapat memnuhi peranan yang telah
dicptakan untuknya oleh para pemuda Indonesia, mungkin juga benar bahwa
berbagai ahli dengan alsan yang rupa-rupanya sehat berpendapat bahwa bahasa
Melayu tidak sesuai untuk dijadikan bahasa peradaban modern, tambahan pula
memang benar bahwa pada praktiknya ramai orang Indonesia yang seringkali gagal
menyesuaikan diri dengan cita-cita mereka setelah tahun 1928. Akan tetapi tidak
dapat disangkal bahwa cita-cita itu telah menjadi kenyataan, bahwa Bahasa
Indonesia bukan saja menjadi lat persatuan politik Indonesia, tetapi juga menjadi
bahasa kesusastraan Indonesia modern.
DAFTAR PUSTAKA
Teeuw,
A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Jilid
I. Ende-Flores: Nusa Indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar