Rabu, 19 Maret 2014

ABORSI ?



Bulan 1: Ma,panjangku itu cuma 2 cm,tapi aku udah ada di badan mama... aku sayang mama,bunyi detak jantung mama itu jadi musik terindah yang menemaniku di sini.

Bulan 2: Ma,aku udah bisa ngisep jari imutku lho,di sini hangat ma,nanti kalau aku sudah keluar mama janji ya mau main sama aku.

Bulan 3: Ma,meskipun aku belum tau jenis kelaminku,tapi apapun aku,aku harap mama dan papa bahagia kelak ketika aku keluar.Jangan nangis ya ma,kalau mama nangis di sini aku juga ikut nangis.

Bulan 4: Ma,rambutku sudah mulai tumbuh lho,ini jadi mainan baruku,aku bisa menggerakan kepalaku putar kiri putar kanan.

Bulan 5: Ma,mama tadi ke dokter ya,dokter bilang apa?
Αpa itu aborsi ma? Αku nggak diapa-apain kan ma?

Bulan 6: Mama datang ke dokter itu lagi ya? Ma,tolong kasih tau dokter itu,aku di sini baik-baik aja! Tapi kok dokter itu mulai memasukan benda tajam? Benda tajam itu mulai memotong rambutku ma tolong,aku takut.Benda tajam itu mulai memotong kakiku,sakiit ma.Tapi meskipun aku tidak punya kaki,aku masih punya tangan yang bisa memeluk mama. Ma,benda itu sekarang mulai memotong tanganku,mama tolong aku.Aku janji nggak akan nakal ma.

Tapi,meskipun aku tidak punya tangan dan kaki,aku msh punya mata dan telinga untuk melihat senyum mama, mendengar suara mama, tapi.. Benda itu sekarang sudah mulai memotong leherku,mama..Ampun ma..Beri aku kesempatan hidup,aku sayang mama,aku pengen meluk mama.

Bulan 7: Ma,aku di sini baik-baik aja,aku udah sama ALLAH di surga,ALLAH mengembalikan semua organ tubuhku yang dipotong benda tajam itu,ALLAH memeluku,memegang tanganku,menggendongku dengan lembut dan ALLAH membisikan tentang apa itu aborsi.

Kenapa mama tega melakukan itu?

Kenapa mama nggak mau main sama aku?
Αpa salah aku ma?

Mama taubat yah,biar ALLAH mau antar mama ke sini,nanti kita main bareng-bareng di sini dan jangan lupa,ajak papa juga ya ma

ABORSI?

Bulan 1: Ma,panjangku itu cuma 2 cm,tapi aku udah ada di badan mama... aku sayang mama,bunyi detak jantung mama itu jadi musik terindah yang menemaniku di sini.

Bulan 2: Ma,aku udah bisa ngisep jari imutku lho,di sini hangat ma,nanti kalau aku sudah keluar mama janji ya mau main sama aku.

Bulan 3: Ma,meskipun aku belum tau jenis kelaminku,tapi apapun aku,aku harap mama dan papa bahagia kelak ketika aku keluar.Jangan nangis ya ma,kalau mama nangis di sini aku juga ikut nangis.

Bulan 4: Ma,rambutku sudah mulai tumbuh lho,ini jadi mainan baruku,aku bisa menggerakan kepalaku putar kiri putar kanan.

Bulan 5: Ma,mama tadi ke dokter ya,dokter bilang apa?
Αpa itu aborsi ma? Αku nggak diapa-apain kan ma?

Bulan 6: Mama datang ke dokter itu lagi ya? Ma,tolong kasih tau dokter itu,aku di sini baik-baik aja! Tapi kok dokter itu mulai memasukan benda tajam? Benda tajam itu mulai memotong rambutku ma tolong,aku takut.Benda tajam itu mulai memotong kakiku,sakiit ma.Tapi meskipun aku tidak punya kaki,aku masih punya tangan yang bisa memeluk mama. Ma,benda itu sekarang mulai memotong tanganku,mama tolong aku.Aku janji nggak akan nakal ma.

Tapi,meskipun aku tidak punya tangan dan kaki,aku msh punya mata dan telinga untuk melihat senyum mama, mendengar suara mama, tapi.. Benda itu sekarang sudah mulai memotong leherku,mama..Ampun ma..Beri aku kesempatan hidup,aku sayang mama,aku pengen meluk mama.

Bulan 7: Ma,aku di sini baik-baik aja,aku udah sama ALLAH di surga,ALLAH mengembalikan semua organ tubuhku yang dipotong benda tajam itu,ALLAH memeluku,memegang tanganku,menggendongku dengan lembut dan ALLAH membisikan tentang apa itu aborsi.

Kenapa mama tega melakukan itu?

Kenapa mama nggak mau main sama aku?
Αpa salah aku ma?

Mama taubat yah,biar ALLAH mau antar mama ke sini,nanti kita main bareng-bareng di sini dan jangan lupa,ajak papa juga ya ma

Kamis, 02 Januari 2014

Perkembangan Moral Menurut Kohlberg dan Ki Hajar Dewantara



Perkembangan Moral
A.    Pengertian Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Nilai-nilai moral itu, seperti:
Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh masyarakat dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut:
1.      Tingkat Pra Konvensional. Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat dibagi menjadi dua tahap.
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Akibat-akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.


Tahap 2: Orientasi Relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.
2.      Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.

Tahap 4 : Orientasi hukuman dan ketertiban
Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri
3.      Tingkat Pasca-Konvensional (Otonom/Berlandaskan Prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini:


Tahap 5: Orientasi kontrak sosial Legalitas
Pada umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika Universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual.
B.     Perkembangan Agama pada Remaja
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan biasanya memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanekaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:Sikap negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:
Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
Menurut Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
C.    Hubungan antara Perkembangan Moral dan Agama
Agama mempunyai peranan penting dalam pengendalian moral seseorang. Tapi harus diingat bahwa pengertian tentang agama, tidak otomatis sama dengan bermoral. Betapa banyak orang yang mengerti agama, tapi moralnya merosot. Dan tidak sedikit pula orang yang tidak mengerti agama sama sekali, tapi moralnya cukup baik.
Oleh sebab itu, seorang peneliti ilmu jiwa agama harus mempelajari pula dinamika dan perkembangan moral, supaya dapat memahami bagaimana peranan agama dalam moral, dan agama itu dapat menjadi pengendali moral. Kita akan melihat betapa erat hubungan agama dengan ibadah-ibadah dan moral. Untuk lebih jelas, dapat kita lihat sangkut paut keyakinan beragama dengan moral remaja terutama dalam masalah-masalah berikut :
Tuhan sebagai Penolong Moral
Tuhan bagi seorang remaja adalah keharusan moral, pada masa remaja itu, Tuhan lebih menonjol sebagai penolong moral, daripada sandaran emosi. Andaikata kadang-kadang pikiran pada masa remaja itu berontak dan ingin mengingkari wujud Allah, atau ragu-ragu kepadanya, namun tetap ada suatu hal yang menghubungkan dengan Allah yaitu kebutuhannya untuk mengendalikannya moral.
Pengertian Surga dan Neraka.
Kebanyakan remaja memikirkan alam lain, bukanlah untuk tempat senang-senang atau tempat siksaan jasmani, akan tetapi sebagai lambang bagi pikiran pembalasan atau lambing kebahagiaan yang ingin dicapainya dan terlepas dari kegoncangan remaja yang tidak menyenangkan itu.

Pengertian tentang Malaikat dan Setan.
Mereka sadar betapa erat hubungan setan dengan malaikat itu dengan dirinya,mereka menyadari adanya hubungan yang erat antara setan dengan dorongan jahat yang ada dalam dirinya, dan hubungan dengan malaikat dengan moral dan keindahannya yang ideal, demikian pula hubungan surga deengan ketentraman batin dan kekuasaan yang baik, juga antara neraka dengan ketenangan batin dan hukuman-hukuman atas dosa.
D.    Makna Perkembangan Moral
Perkembangan sosial merupakan proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan.
Seperti dalam proses perkembangan yang lannya, proses perkembangan sosial dan moral selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam dunia psikologi belajar terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan perkembangan moral. Diantara ragam mazhab perkembangan sosial ini paling menonjol dan layak dijadikan rujukan adalah :
1. Aliran teori cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg.
2. Aliran teori Social Learning dengan tokoh utama Albert. Bandura dan R.H Walters.
Pada tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak melakukan penelitia yang mana pada penelitiannya setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu teori perkembangan moral adalah teori menurut Kohlberg.
E.     Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral.
Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain.
Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan
Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap II. Individualisme dan tujuan
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
Tingkat Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.

Tahap III. Norma-norma Interpersonal
Yaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.
Tingkat IV. Moralitas Sistem Sosial
Yaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional
Yaitu : Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.



Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu : seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.
F.     Teori Trikon Ki Hajar Dewantara
Stern dan para pengikutnya meyakini bahwa kedua faktor, yakni pembawaan dan lingkungan, saling memberikan pengaruh terhadap perkembngan manusia. Faktor  pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor lingkungan. Pendapat Stern ini berdasarkan penyelidikannya sendiri terhadap anak-anak kembar di Hamburg.
Dilihat dari segi faktor genetik anak kembar mempunyai sifat-sifat keturunan yang dapat dikatakan sama. Anak tersebut dipisahkan dari pasangannya dan ditempatkan pada pengaruh lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya. Pemisahan itu segera dilaksanakan setelah kelahiran. Maka ternyata anak itu memiliki sifat-sifat berbeda satu dengan yang lain, sekalipun secara keturunan mereka dapat dikatakan relatif memiliki kesamaan. Perbedaan sifat tersebut disebabkan karena pengaruh lingkungan di mana anak tersebut berada. Dengan keadaan ini dapat dikatakan bahwa faktor pembawaan tidak menentukan secara mutlak, pembawaan bukan satu-satunya faktor yang menentukan pribadi atau struktur kejiwaan seseorang (Abu Ahmadi, 2003:197).
Dari berbagai macam teori perkembangan seperti yang tersebut diatas, teori yang dikemukakan oleh W. Stern-lah yang banyak diterima oleh para ahli pada umumnya sehingga teori aliran konvergensi ini merupakan salah satu hukum perkembangan individu di samping adanya hukum perkembangan yang lain. Meskipun demikian, sebagaimana teori perkembangan lain, teori ini juga memiliki kelemahan yakni belum bisa menentukan faktor mana yang memiliki peranan paling besar dalam perkembangan anak. Selain ketiga teori diatas, tak salah kiranya jika penulis juga menyebutkan Teori Trikon yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurut beliau (dalam Hafi Anshari, 1993:46) ada tiga hal yang mesti ada agar suatu proses pendidikan dalam membina perkembangan anak bisa berhasil, yakni:
  1. Konvergensi  yang berarti akan berhasil baik bila ada perpaduan antara faktor ajar (faktor endogen/luar) dan faktor dasar (faktor eksogen/dalam). Konvergen artinya dalam upaya mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia kita harus memadukan dengan kebudayaan asing yang dipandang dapat memajukan bangsa Indonesia. Dalam memadukan itu (konvergensi) dilakukan dengan memilih dan memilah kebudayaan yang sesuai dengan kepribadian Pancasila (selektif) dan pemaduannya harus secara alami dan tidak dipaksakan (adaptatif).
  2. Kontinou yang berarti pendidikan adalah usaha melanjutkan kelangsungan hidup manusia. Kontinyu artinya dalam melestarikan kebudayaan asli Indonesia kita harus terus menerus dan berkesinambungan. Teori Kebudayaan itu dilakasanakan dengan memasukan mata pelajaran muatan lokal, melakukan upacara-upacara adat, mementaskan keseruan daerah dan lain-lain.
  3. Konsentris yang berarti pendidikan akan berhasil baik bila berpusat pada kepada kebudayaan bangsanya sendiri. Konsentris artinya dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia kita harus berusaha menyatukan kebudayaan nasional kita dengan kebudayaan dunia (global) dengan catatan harus tetap berpegang pada ciri khas kepribadian bangsa Indonesia (berdasarkan Pancasila).
Dengan mengetahui teori-teori ini maka kita sebagai orang tua atau pendidik akan memahami dan berhati-hati dalam memberikan pengaruh maupun memberi bahan pengaruh itu.
Trikon merupakan kependekan dari istilah kontinyu, konvergen dan konsentris. Teori trikon ditemukan oleh Ki Hadjar Dewantara untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia.
  Teori Trikon ini dapat diterapkan dalam segala unsur kebudayaan, baik yang berapa ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (IMTAQ), etika susila, estetika dan seni, maupun daiam keterampilan hidup (life skill).Melalui penggunaan teori trikon dimaksudkan agar dalam upaya mewujudkan masyarakat tertib damai dan mewujudkan hidup yang salam bahagia bangsa Indonesia dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, serta dapat maju modern yang tetap di atas kepribadian Pancasila.

G.    Strategi Trikon Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara mulai mempraktikan teori ini sejak menuntut ilmu di Belanda. Ilmu pendidikan barat disaring; yang bermanfaat dipakainya tetapi tetap berpijak pada akar budaya tanah air sehingga konsep tentang Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada budaya Nusantara.
Konsep isi pendidikan harus relevan dengan garis hidup untuk mencerdaskan anak bangsa, mengangkat martabat bangsa dalam rangka membangub kerjasama saling menguntungkan antar bangsa di dunia.
Untuk memperkuat dinamika pendidikan sebagai penguatan kebangsaan, maka konsep pengembangan pendidikan harus senafas dengan nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat serta melibatkan unsur masyarakat dalam pengelolaannya karena keluaran/ output yang dihasilkannya harus menjadi pioneer kebudayaan dan peradaban bangsa yang lebih besar. Analisis Strategi Trikon:
Strategi konvergensi misalnya, paling banyak dipengaruhi oleh pergolakan dunia yang harus diantisipasi dengan baik supaya tidak menjadi ancaman terhadap kelangsungan pendidikan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA